Seputar Peradilan
Banjarmasin (07 April 2017),Saat itu, jam menunjukkan pukul 21.30 wita, waktu yang sudah cukup malam untuk para peserta yang hadir. Tetapi acara yang dikemas dengan bentuk pembinaan tersebut, ternyata semakin malam semakin “asyik”. Acara ini dilakukan di ruangan PTA Kalsel yang tidak terlalu lebar, bahkan menimbulkan “kehangatan” bagi para peserta. Asiknya acara tersebut, tidak lain dari gaya bicara yang santai dari Pak Dirjen Badilag. Pengamatan saya kali ini tertuju dengan beberapa petuah pak Dirjen Badilag. Acara yang dibuka oleh Ketua PTA Kalsel tersebut, sengaja diselenggarakan untuk memberikan kesempatan bagi para punggawa hukum di wilayah Kalsel untuk mendapatkan pesan-pesan penting dari Dirjen Badilag.
Tidak ada tema khusus pada acara kali ini, tetapi dari paparan Dirjen, setidaknya ada tiga pokok bahasan yang disampaikan. Pertama, pesan moral yang berkaitan dengan integritas aparatur peradilan. Kedua, peningkatan kemampuan dan profesionalitas. Ketiga, berkenaan dengan autokritik lembaga peradilan yang bersumber dari temuan Badan Pengawasan Mahkmah Agung.
Sentuhan-sentuhan nilai agama disampaikan Dirjen untuk memberikan kesadaran, bahwa aparatur peradilan merupakan bagian terpenting yang harus menegakkan hukum dan keadilan. Moral menjadi bagian terbesar modal integritas aparatur peradilan disamping modal dan kemapuan lainnya.
Sebelum memberikan “wejangannya”, pak Dirjen menyampaikan hasil penelitian seorang hakim Belanda bernama Dory Reiling. Penyampaian hasil penelitian Reiling ini menurut saya luar biasa. Pak Dirjen, sebagai “bapak”nya peradilan agama saat ini, sudah mengakui hasil penelitian sarjana Belanda, menjadi bagian landasan berfikir kita sebagai warga peradilan agama.
Saya yakin, semua masih ingat, lembaga kita masih terasa “sakit” oleh hasil penelitian sarjana Belanda bernama Cristian Snouck Hurgronje (1857-1936). Hasil penelitiannya itu, menumpulkan kewenangan lembaga peradilan agama dalam menyelesaikan sengketa kebendaan (waris, harta bersma, wakaf). Kewenangan terhadap penyelesaian sengketa tersebut lahir kembali pada tahun 1989 (lahirnya UU Peradilan Agama) setelah berpuluh-puluh tahun leyap sebagai korban teori resepsi. Landasan teori “Dory Reiling” yang dikemukakan pak Dirjen sudah memberikan paradigma baru sebuah pemahaman kita tentang netralitas sebuah penelitian. Bahwa ilmu pengetahuan adalah netral, tanpa memandang secara primordial dan tendensius lainnya.
Dory Reiling adalah seorang hakim dari Belanda sekaligus penasehat senior World Bank Judicial Reform, Kesan yang dikemukakan pak Dirjen berkenaan dengan kesimpulan disertasi Reiling bahwa, fenomena lembaga peradilan yang tragis yang terjadi di seantero dunia, adalah proses peradilan yang berlarut-larut, sulitnya mengakses keadilan dan korupnya lembaga peradilan.
Dirjen menggaris bawahi ketiga kesimpulan tersebut sebagai pemicu agar lembaga peradilan pada khususnya dan peradilan agama pada umumnya mampu menjadi peradilan moderen yang memberikan akses bagi pencari keadilan, tidak berlarut-larut proses perkara dan menjaga integritas moral. Disertasi tentang Dory Reiling pernah juga diulas oleh Majalah Badilag edisi IV dan untuk lebih jelasnya disertasi tersebut dapat diunduh di sini: https://openaccess.leidenuniv.nl/bitstream/handle/1887/21365/file174577.pdf?sequence=1